Hiruk pikuk khas
pasar malam terdengar sayup ditelingaku. Lampu sorot langit sokle besar, yang
menandakan pasar malam tengah berlangsung, semakin jelas terlihat. Malam ini,
dia mengajakku pergi ke pasar malam. Pukul 19.30, kami tiba di lapangan tempat
pasar malam berlangsung meriah. Setelah memastikan motor terkunci dengan aman,
kami membenarkan jaket supaya dingin tak terlalu terasa. Kami bingung harus
mencoba permainan yang mana terlebih dahulu. Banyak permainan yang ada membuat
bingung. Sedikit permainan yang akhirnya membuat pasar malam terlihat sepi juga
bukan solusi yang tepat. Terlihat sepele memang, namun seringkali kita terlalu
dibuat rumit oleh hal-hal sepele. Hingga pada akhirnya, kami memutuskan untuk
mencoba permainan kora-kora sebagai pembuka. Ini kali pertama aku mencoba
permainan kora-kora dan takut sedang bersamaku saat ini.
Dia sudah selesai
membeli dua tiket yang tentunya satu untuknya dan satu untukku. Ketakutanku
semakin menjadi, bahkan aku sempat kepikiran untuk kabur karena saking
takutnya. Aku melihat beberapa orang segera mencari tempat terbaik versi mereka
untuk menikmati kora-kora. Dia pun tak mau kalah, tiba-tiba dia menggapai
tangan kananku lalu menggandengku untuk mencari tempat yang masih tersisa. Musik
mulai dimainkan yang menandakan bahwa kami akan segera bermain dengan
kora-kora. Aku hanya bisa meyakinkan diriku dan mencoba untuk menikmati
permainan ini.
Bagaimana jika aku
terpelanting jatuh ke bawah?. Bagaimana jika aku mengeluarkan isi perutku di
sini?. Bagaimana jika aku tidak selamat?. Banyak sekali hal buruk yang aku
pikirkan saat ini. Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar bisa menikmati
permainan ini. Terdengar teriakan-teriakan dari mulut mereka yang juga mencoba
berteman dengan kora-kora. Aku tidak tahu dan tidak peduli, apakah itu teriakan
puas atau cemas. Aku sendiri memilih tidak berteriak dan memilih diam. Untuk
saat ini, aku sepihak dengan kutipan diam adalah emas. Daripada aku menodai
mulutku dengan kata-kata kotor jika memilih berteriak, lebih baik aku diam saja.
Rupanya, Tuhan
telah membaca pikiranku. Dia meyakinkanku untuk menaklukkan kora-kora ini
melalui hamba-Nya. Dia yang duduk tepat di sebelah kananku ini, mencoba
membantu Tuhan untuk meyakinkanku melawan ketakutan ini.
"Wajar saja
jika kamu takut, karena ini kali pertama kamu mencoba. Tapi kamu harus yakin,
Tuhan akan membantumu untuk melawan ketakutanmu ini. Cukup dengan yakin dan
tulus memohon, maka Tuhan akan memenangkanmu atas rasa takutmu,” bisiknya
kepadaku sembari menyalurkan keberanian yang ia punya dengan menatapku cukup
serius.
Aku mengangguk dan
tersenyum lalu mengucapkan terima kasih kepadanya. Perlahan aku mencoba
meyakinkan diriku untuk menikmati permainan ini. Sulit memang, tapi aku harus
melakukannya. Langkah selanjutnya, aku mencoba berkenalan dengan kora-kora
sebelum akhirnya kami memutuskan untuk berteman. Membutuhkan menit yang cukup
lama untuk berkenalan hingga aku memutuskan untuk berteman dengan kora-kora.
Menit itu pula yang membantuku untuk membuang pikiran burukku. Tenang saja, aku
tak lupa untuk berterima kasih kepada Tuhan karena telah menyingkirkan rasa
takutku ini dan telah menjadikan dia seseorang yang menemaniku menaklukan
kora-kora untuk pertama kalinya.
Bulan sabit
menemani kami malam ini. Bentuk sabitnya seakan meniru senyumku yang sedari
tadi tercipta dengan tulusnya. Ya, senyum itu terbentuk sejak aku bisa
menaklukkan kora-kora beberapa menit yang lalu. Sejak itu pula, perasaan senang
dan puas seketika menyatu dengan diriku.
Malam semakin
larut, pasar malam masih ramai dipenuhi orang-orang, entah untuk mencari nafkah
atau sekadar melepas penat saja. Dari tempatku berdiri saat ini, tercium aroma
harum jagung bakar yang memanggilku untuk memilikinya. Tanpa pikir panjang, aku
segera melangkahkan kaki untuk membeli jagung bakar. Aku memang sengaja tak
mengajaknya untuk membeli jagung bakar, karena setelah kami selesai bermain
dengan kora-kora, dia bilang kepadaku akan pergi ke kamar kecil. Sekarang
giliranku, aku harus bisa memberikan memori yang cukup berkesan, menurutku,
dengan membelikannya salah satu makanan favoritnya. Kenapa aku bilang ini
giliranku?. Karena dia telah membantuku untuk berani bermain dengan kora-kora.
Hal itu akan menjadi memori yang indah untukku.
Tak butuh waktu lama,
dua jagung bakar rasa cinta, eh maksutku
rasa pedas manis siap untuk disantap. Aku memutuskan untuk menghubunginya via
telepon daripada harus mencarinya. Namun, ketika aku sedang mencari namanya
dalam daftar kontakku, terdapat panggilan masuk darinya. Segera kuangkat
panggilan itu dan menyuruhnya untuk pergi ke tempatku duduk saat ini, aku duduk
di bangku taman yang ada di samping kiri penjual jagung bakar.
“Hei, ini jagung
bakar pedas manis kesukaanmu. Terima kasih untuk malam ini. Nice to
play with you!,” ungkapku kepadanya disaat ia tengah asyik menikmati jagung
bakar kepunyaannya.
Berasa aku si orang pertamanya :) keep writing kak
ReplyDeleteTerima kasih Campbel! Semangat terus bisnisnya! Sukses! :))
DeleteMantap bribil
ReplyDeleteTerima kasih Anggie❤️
DeleteNice! But, lebih jeli lagi dalam choosing words✌❤
ReplyDeleteTerima kasih Azizah❤️
Delete