#1
Udara dingin
tanpa permisi mengganggu pagi hangat sekumpulan mahasiswa yang sedang asyik
bertukar cerita. Semalam suntuk hingga ayam berlomba untuk berkokok, kami
berlima larut dalam obrolan panjang di ruang aula. Mulai dari topik seputar
makrab, yang sedang kami jalani, hingga topik abstrak seperti mengapa burung terbang dan ikan
berenang menjadi alasan mengapa kami masih terjaga. Ya, memang se-absurd itu mahasiswa yang tergabung di
dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Listu ini.
Malam
keakraban, atau biasa disebut makrab, kali ini diikuti oleh bakal anggota serta
pengurus Teater Listu. Umumnya, mahasiswa akan menanti makrab tiba, karena akan
ada banyak kejutan di dalamnya. Entah mendapat teman baru, menjadi
bulan-bulanan kakak tingkat, berpetualang menyusuri hutan, malam api unggun,
atau mendapat gebetan baru (jangan terlalu berharap untuk kejutan yang satu ini
ya!).
“Kalian nggak pada ngantuk?
Ternyata udah lama banget kita ngobrolnya, sekarang aja udah mau jam 03.00
pagi”, seru Kak Sena, komandan utama teater Listu periode sekarang, memotong
obrolan kami.
Tak perlu berlama-lama, kami
kompak menggelengkan kepala untuk menjawab Kak Sena. Lalu, kembali menyambung
cerita yang sempat tertunda.
Aku tidak
merasakan kantuk sejak menit pertama obrolan kami dimulai. Kantukku hilang
setelah aku menyelesaikan tegukan terakhir kopi milik Sari yang ia hibahkan
kepadaku. Sari memang tak suka dan jarang sekali minum kopi, paling-paling dia
hanya akan memesan latte jika kuajak
dia ke kedai kopi, namun kali ini dia sengaja menyeduh kopi hitam supaya betah
begadang katanya. Aku cukup senang ketika dia bilang kepadaku jika ingin
mencicipi kopi hitam. Sudah puluhan kali aku membujuknya untuk mencicipi kopi
hitam, yang kata orang-orang dan kataku pahit, namun tetap saja ia memilih latte yang tentunya lebih manis dari
kopi hitam. Kopi hitam yang Sari seduh bukanlah miliknya, kopi ini milik
panitia makrab. Setiap makrab, pasti panitia akan menyediakan kopi hitam untuk
membantu para peserta makrab agar bisa berjaga lebih lama.
Kita boleh saja berharap, namun
kenyataan tak selalu sesuai harapan. Ya, itu yang terjadi dengan Sari. Dia
berharap bisa menikmati kopi hitam seperti ia menikmati latte, namun yang terjadi justru…
“Lun! Ini kopi apaan sih?! Pahit
banget! Padahal aku sudah kasih gula sebanyak yang kamu bilang, itu pun masih
kutambah sedikit lagi. Aku kira tidak akan sepahit ini, ternyata ini pahit
sekali,” omelnya setelah satu sendok kopi masuk ke dalam mulutnya.
“Salah siapa tadi nggak tanya
dulu, pahit banget apa pahit aja,” ketusku.
“Bisa nggak sih Lun, kalau jawab
itu b aja, gausah ketus-ketus! Katamu, aku cukup membayangkan kalau kopi hitam
ini sama enaknya dengan latte. Aku
sudah membayangkanya, tapi kenapa masih pahit aja sih …,” sesalnya sembari
menatralisir rasa pahit yang ada di lidahnya dengan teh manis.
“Kamu bayanginnya nggak ikhlas
sih, makanya tetap pahit,” balasku disertai kekehanku.
Kamu memang benar, Sari. Kopi
hitam akan selalu bertahan dengan ciri khas pahitnya. Aku berbohong jika cukup
dengan membayangkan maka akan berubah menjadi semanis latte. Kopi hitam tetaplah kopi hitam, ia menarik karena pahitnya. Sama
halnya dengan dia, dia menarik karena berbeda dengan yang lain. Eh apaan sih,
Lun!
“Iya deh Lun, ini emang salahku.
Udah tau nggak suka kopi tetap saja pengen nyoba. Nih, buat kamu aja kopinya,
sayang kalau dibuang,” pasrahnya dengan memberiku kopi hitam miliknya.
“Makasih Sari tersayang, tau aja sih kalau aku lagi butuh kopi,” lalu
aku menerima kopi hitam milik Sari dan
mulai meneguknya.
Jika kalian ingin tahu kabar Sari
selama kami bertukar cerita, dia tertidur pulas tepat di belakangku. Tadinya ia
ingin menikmati malam dengan mengobrol bersama kami, tapi apa daya, mata dan
tubuhnya sudah ingin rehat. Sekitar pukul
00.30 kami mulai mengobrol, setengah jam kemudian Sari sudah memetik
bunga tidurnya.
“Nanti jam 06.00 jadi ada senam
pagi nggak, Sam?” tanya Kak Aga, Ketua Bidang Medinfo Teater Listu, disela
obrolan kami.
“Nggak jadi, Kak. Semalam kan acaranya
ngaret sampai jam 23.45 yang seharusnya jam 23.00 kelar. Jadi, nanti senamnya
diundur sampai jam 08.00-an aja. Takutnya nanti waktu tampil pesertanya masih pada
ngantuk dan tampil nggak maksimal. Tadi aku sudah rundingan sama Sari dan anak
acara yang lain juga kok,” jelas Samuel, ketua pelaksana makrab.
“Alhamdulillah, bisa tidur bentar
dulu kalau gitu,” syukur Dido atas penjelasan Samuel.
“Udah yuk ngobrolnya, Dido sama Sena
dah merem melek tuh,” pinta Kak Jani, ketua bidang PSDM untuk mengakhiri
obrolan kami.
“Iya Kak, kayaknya mereka udah
ngantuk berat,” balasku menimpali Kak Jani disusul tawa dari teman-teman lain.
Aku
merebahkan diri di samping Sari lalu mencoba tidur. Samuel dan Dido membenarkan
jaket mereka sebelum terlelap. Kak Jani memposisikan diri di sampingku lengkap
dengan selimut yang melindunginya dari dingin. Kak Aga dan Kak Sena memilih
menuruni anak tangga entah untuk pergi ke mana. Di aula, sudah ada beberapa
teman yang terlelap sebelum kami. Setelah acara semalam selesai, mereka
langsung menempatkan diri untuk tidur.
Kalian pasti
tahu apa alasan yang mengharuskan kami tidur di aula. Semua kamar villa yang
kami sewa sudah ditempati oleh peserta makrab. Dana yang terbatas menjadi
alasan mengapa kami tidak menyewa villa dengan kamar yang lebih banyak. Mau
tidak mau kami harus rela tidur di aula, kursi, atau di manapun yang penting
bisa untuk istirahat. Poor you, panitia
makrab!
Matahari
menyapaku dengan sinarnya yang berhasil lolos melewati kisi jendela juga
ventilasi ruang aula. Kantuk masih saja enggan beranjak, padahal aku sudah
beberapa kali melakukan peregangan tubuh. Kakiku melangkah malas menuju kamar
mandi untuk basuh muka, gosok gigi, evaluasi. Eh bukan-bukan, kenapa ini malah
nyanyi lagu Evaluasi milik Hindia. Maksudku, membasuh muka dan menggosok gigi
untuk menghilangkan kantuk dari tubuhku. Kalian tahu? usahaku membuahkan hasil.
Air dingin, dingin sekali malah, berhasil mengusir kantuk dan membuat tubuhku sedikit
menggigil. Jaket selalu kukenakan sejak kemarin malam, dataran yang cukup
tinggi membuat udara di villa ini menjadi cukup dingin.
Sari, Sam,
Dido dan beberapa teman lainnya sibuk dengan ponsel masing-masing, begitupun
denganku. Kak Jani masih setia menyelesaikan mimpi dalam tidurnya. Peserta
masih mengurung diri di kamar masing-masing, namun satu-dua peserta mulai
keluar kamar bahkan keluar villa untuk mengisi waktu luang mereka. Sarapan akan
dilakukan setelah senam pagi selesai. Pemilik villa sedang sibuk menyiapkan
makanan untuk sarapan, mungkin. Aku hanya perlu menunggu sekitar tiga puluh
menit lagi untuk senam kemudian sarapan, rasa lapar yang kini kurasakan sudah
memasuki stadium akhir dan harus segera disudahi.
“HP aja terus yang daritadi
diperhatiin, sampai lupa kalau teman-teman yang lain udah ke bawah duluan”,
tegur Kak Aga.
“Astaga Kak… Ngagetin aja sih,”
balasku spontan. Aku mengedarkan pandangan meneliti seluruh aula, dan Kak Aga
memang benar, tidak ada orang di aula selain aku dan Kak Aga.
“Yaudah sih Na, maaf kalo gitu
deh. Nih aku punya strawberry buat kamu,” tawarnya disusul dengan tangan
kanannya yang memberiku strawberry plus senyum manis tersungging di bibirnya.
“Hah?! iya Kak nggak papa kok. Ini
buat aku beneran, Kak?,“tanyaku sedikit
kaget untuk memastikan.
“Iya Na, mau buat siapa lagi
coba? Tadi aku dikasih dua sama Bapak penjualnya. Yang satu udah aku makan,
yang satu buat kamu”jawabnya untuk
memastkan perihal kepemilikan strawberry itu.
“Makasih banyak strawberrynya, Kak. Yuk ke bawah kak
udah ditunggu sama yang lain tuh!” ajakku kepadanya.
“Iya kamu duluan aja, aku mau ini dulu,” jawabnya
sambil menunjukkan rokok yang ada di tangan kirinya kepadaku.
Terima kasih Tuhan tidak memberiku kesempatan ngobrol
lebih lama lagi, batinku. Dengan segera, aku mempercepat langkah menuruni
tangga menjauhinya karena tak mau dia tahu kalau jantungku berdetak lebih cepat
jika obrolan ini tak segera diakhiri.
Pasti kalian juga pernah merasakan hal sepertiku, iya
kan? Tubuh gemetar, jantung berdetak tak seperti biasanya, dan perasaan senang
menyelimuti seluruh tubuh ketika ngobrol atau hanya bertemu dengan orang yang
kalian anggap spesial (nggak tau deh dia nganggep kalian spesial engga, hehe).
Sudah jujur saja, tak mengapa. Aku tahu, kalian pasti
sekarang sedang tersenyum sendiri membayangkannya.
Bagi yang selalu ingat atau sedang mengalaminya,
selamat ya! Kamu tak perlu susah-susah mengingat memori yang lalu.
Bagi yang sudah lupa bagaimana rasanya, mari kita
ingat kembali. Hanya mengingat saja, tidak lebih.
Selamat memutar memori tentangnya kembali, mengingat
banyak hal indah yang pernah dilakukan bersama hingga lupa bahwa sekarang sudah
tak bersama lagi.
Kalau kalian rindu saat itu, kalian tak sendiri. Tak salah
jika kita rindu, namanya juga pernah bersama.
Comments
Post a Comment